Selasa, 31 Maret 2009

Yonex Sunrise India Gold Grand Prix 2009

Meskipun kelasnya setingkat di bawah super series, namun tak sedikit pemain bintang yang ikut, termasuk atlet non-pelatnas Indonesia. Dalam turnamen ini, Indonesia berhasil membawa pulang 2 gelar yang dipersembahkan oleh atlet non-pelatnas. Mereka adalah Taufik Hidayat dan pasangan ganda campuran yang baru "rujuk", Flandy Limpele/Vita Marissa.
Di partai ganda putri, Indonesia sebenarnya juga memiliki wakil, yaitu Vita/Nadya Melati. Namun, pasangan ini dikandaskan oleh ganda muda Cina, Jin Ma/Xiaoli Wang, 14-21, 13-21 dalam waktu 27 menit. Tunggal Prancis, Hongyan Pi menjadi juara tunggal putri setelah mengalahkan Julia Pei Xian Wong dari Malaysia dengan skor 17-21, 21-15, 21-14 dalam waktu 54 menit. Di ganda putra, giliran Malaysia yang memperoleh gelar setelah ganda senior mereka, Tan Fook Choong/Wan Wah Lee menang 2 set atas ganda Singapura, Hendri Kurniawan Saputra/Hendra Wijaya, 21-9, 21-11 hanya dalam waktu 19 menit.
Indonesia meraih gelar pada 2 partai sisa, yaitu tunggal putra dan ganda campuran. Taufik menang atas tunggal senior Malaysia, Muhammad Hafiz Hashim 21-18, 21-19 dala waktu setengah jam. Sedangkan Flandy/Vita menang atas ganda tuan rumah, Diju Valiyavteetil/Jwala Gutta, 21-14, 21-17 dalam waktu 33 menit.
Meskipun disiarkan Vision1, tapi sejak All England, tayangan bulutangkis ini tidak di-relay lagi ke SUN TV dan mungkin yang lainnya juga.

Senin, 16 Maret 2009

Tur Eropa Pertama

Tur Eropa yang dimaksudkan tentu saja 2 turnamen super series yang diselenggarakan di 2 negara Eropa, yaitu Inggris dan Swiss. Hasilnya sangat mengecewakan bagi tim Indonesia. Hasil terbaik hanya maju ke babak semifinal All England, itupun pemain non-pelatnas, yaitu Taufik Hidayat dan Flandy Limpele yang berpasangan dengan pemain Rusia, Anastasia Russikh. Tentu hasil buruk ini harus menjadi perhatian khusus dari pelatnas, yang sepertinya mulai menurun di bawah kepemimpinan Bapak Djoko Santoso (tidak bermaksud menyinggung). Mengenai hukuman re-training 1,5 bulan untuk pemain yang tidak memenuhi target, saya rasa cukup bagus untuk memperbaiki kemampuan pemain. Tapi, saya rasa yang lebih tepat adalah hukuman untuk pemain yang tampil di bawah performa maksimal. Alasannya, jika pemain tersebut sudah berusaha berhasil menampilkan performa terbaiknya, namun kalah karena lawannya bermain lebih baik lagi atau ada beban mental karena ditargetkan seperti itu, maka itu bukan salah pemain. Mungkin di Cina juga diberlakukan hukuman yang hampir serupa. Tapi, perlu diingat bahwa pemain Cina di papan atas dunia itu tidak sedikit. Jadi, kalau ada target, ditanggung bersama-sama. Selain itu, harus diakui pemain Cina memiliki kemampuan yang lebih baik dari Indonesia. Memang, kalau masalahnya pemain lawan bermain lebih baik, ya, harus dilakukan latihan lebih agar bisa lebih baik lagi. Mengenai kekalahan Nova/Liliyana, saya rasa mereka punya masalah jika melawan lawan yang baru pertama kali dihadapi. Selain itu, ketika melawan Flandy/Anastasia, tentu saja Nova, Liliyana, dan Flandy sudah saling mengenal karakter permainan. Tapi dengan Anastasia? Jelas belum. Jadi, Flandy/Anastasia bisa membaca permainan Nova/Lilyana dengan lebih mudah. Kekalahan dengan Zheng Bo/Jin Ma, harus diakui Cina pandai dalam membuat pasangan baru. Buktinya, mereka bisa menang di Swiss.
Kembali ke All England dan Swiss Open. Di Inggris, Cina berhasil mendominasi dengan merebut semua gelar yang ada. Berikut hasilnya :
XD : He Hanbin/Yang Yu vs Sung Hyun Ko/Jung Eun Ha 13-21 21-15 21-9
MS : Dan Lin vs Chong Wei Lee 21-19 21-12
WD : Yawen Zhang/Tingting Zhao vs Shu Cheng/Yunlei Zhao 21-13 21-15
WS : Yihan Wang vs Tine Rasmussen 21-19 21-23 21-11
MD : Yun Cai/Haifeng Fu vs Sang Hoon Han/
Ji Man Hwang 21-17 21-15
Di Swiss, Cina tetap mendominasi, meskipun jumlahnya "hanya" 3 gelar, dan sisanya direbut Malaysia.
XD :
Bo Zheng/Jin Ma vs Yong Dae Lee/Hyo Jung Lee 21-16 21-15
WS : Yihan Wang vs Yanjiao Jiang 21-17 17-21 21-13
MS : Chong Wei Lee vs Dan Lin 21-16 21-16
WD : Jing Du/Yang Yu vs Hyo Jung Lee/Kyung Won Lee 21-11 21-12
MD : Kien Kiet Koo/Boon Heong Tan vs Mathias Boe/Carsten Mogensen 21-14 21-18
Semoga tim Indonesia bisa berhasil di kesempatan berikutnya.

Minggu, 01 Maret 2009

Wawancara Eksklusif Christian Hadinata

Berikut adalah wawancara eksklusif radio BBC Siaran Indonesia dengan legenda bulutangkis Indonesia, Christian Hadinata.
Bagaimana Anda memandang prestasi bulutangkis Indonesia sekarang, tidak hanya dibandingkan ketika Pak Christian masih terjun?
Jujur, secara fakta, sih, prestasi sekarang itu tidak sebaik masa-masa dulu, ketika saya masih bermain. Supremasi beregu dalam arti seperti Piala Thomas, Piala Uber, Piala Sudirman itu sekarang berada di negara lain, yaitu China. Nah, paling tidak dulu Piala Thomas itu selalu berada di Indonesia. Lalu di beberapa turnamen prestisius, seperti All England, yang dalam waktu dekat akan berlangsung, kita beberapa Tahun belakangan ini juga tidak pernah merebut gelar atau juara. Meskipun, di sisi lain, katakanlah di beberapa nomor kita masih cukup baik. Itu kelihatan dari gambaran ranking satu dunia itu ditempati oleh pasangan ganda campuran kita, Nova Widhianto/Lilyana Natsir dan pasangan ganda putra kita, Markis Kido dan Hendra Setiawan. Di samping itu, kita masih bisa tetap mempertahankan tradisi emas Olimpiade. Tapi, secara umum ada penurunan, lah.
Menurut Pak Christian, apa penyebab penurunan itu?
Utamanya, sih, kita memang tidak banyak punya pemain yang berkualitas super. Saya mengatakan super karena dengan kualitas yang baik saja tidak cukup untuk menjadi juara. Harus kualitas super baik. Belum juga mengenai program latihan yang harus juga disusun dengan baik oleh para pelatih dengan baik. Apalagi, sekarang kita harus juga mengakui bahwa peran iptek itu sangat membantu kita. Nah, ini yang kita masih kurang, ya. Tapi utamanya kembali, kita memang masih cukup sulit untuk menemukan atau mendapatkan pemain-pemain yang berkualitas super, katakanlah seperti seorang Taufik Hidayat, seorang Susi Susanti, atau Mia Audina, atau Candra (Wijaya)/Sigit (Budiarto), Canda/Tony (Gunawan). Sebelum itu, kita kenal seorang Rexy Mainaky dan Ricky Subagja, ya.
Lantas, bagaimana cara menemukan pemain super baik itu, Pak Christian?
Dalam hal ini, tim pemandu bakat mesti bekerja keras, ya. Terutama juga tidak hanya sekedar menemukan, ya. Tapi, pemain atau juara itu tidak hanya cukup dilahirkan saja, ya. Tapi juga harus dibuat.
Agar kejayaan bulutangkis Indonesia itu bisa kembali lagi atau bisa direngkuh, peran seperti apa yang harus dilakukan oleh pemerintah, Pak Christian?
Satu hal mungkin yang sampai saat ini belum tercapai adalah bulutangkis itu kelihatannya belum sampai masuk ke dalam sekolah. Padahal, anak-anak sekolah ini adalah bibit-bibit unggul yang sebetulnya bisa dibina menjadi calon-calon atlet yang baik. Kita basisnya sepertinya lebih banyak di perkumpulan.
Mungkin lebih tegasnya, Pak Christian, bulutangkis harus masuk kurikulum khusus di dalam sekolah, begitu?
Saya rasa setuju, ya, seperti itu. Dalam hal ini, 'kan, dibutuhkan kerja sama, seperti dengan diknas, ya. Juga termasuk Mennegpora dan departemen-departemen yang mungkin terkait ke sana. Saya rasa itu betul-betul harus diprogramkan dan harus betul-betul menjadi perhatian serius.
Dan sepengetahuan Anda, ini sudah dilakukan juga, ya, oleh negara-negara seperti Cina, misalnya?
Oh, iya. Kita tahu bahwa negara-negara khususnya Cina dan Korea itu sangat men-support. Justru, atlet-atlet usia sekolah itu sudah diarahkan. Kita juga tidak ada salahnya meniru hal yang baik. Kebanyakan yang saya lihat itu, anak-anak sekolah kiblatnya NBA, basket. Dan saya sering lihat kalau lewat suatu sekolah itu pasti ada lapangan basketnya, tapi lapangan bulutangkisnya kita belum tahu. Nah, ini juga menjadi suatu hal yang bisa menghambat.
Dan Pak Christian juga tadi mengatakan bahwa pelatihan atau pendidikan melalui perkumpulan itu tidak cukup, ya?
Saya rasa nggak cukup, ya. Memang, perkumpulan yang sekarang menjadi basis utama akan lebih baik juga kalau ditunjang dari anak-anak sekolah juga sudah mulai dipantau, sudah mulai diarahkan untuk menjadi atlet-atlet bulutangkis yang baik. Dan kita ketahui, bahwa meskipun basis utama kita di klub sekarang, tidak banyak, 'kan, klub-klub di Indonesia yang punya pemain-pemain yang baik, ya. Hanya, mungkin 5 atau 6 klub saja. Itu pun kebanyakan di Pulau Jawa. Nah, oleh karena itu, bulutangkis lewat sekolah itu lebih bisa dikembangkan di luar Jawa dibandingkan dengan kalau kita menganut sistem klub.
Dibandingkan waktu Pak Christian masih terjun di dunia bulutangkis sebagai pemain, apa yang membedakan sistem pemantauan bakat sekarang dan dulu, Pak Christian?
Oh, sekarang, sih, sebetulnya sudah lebih teratur, ya. Sudah kebih terprogram, lah. Karena, setiap sirkuit nasional itu ada pemandu bakatnya sendiri. Kalau di zaman kita dulu, itu boleh dikatakan lebih alamiah. Tahu-tahu lahir aja juara, gitu. Latihan sendiri, kadang-kadang tidak menyadari bakatnya sendiri.
Jadi, penegasan lagi, Pak Christian. Jadi, letaknya di mana masalah bulutangkis Indonesia ini, sehingga prestasi yang Pak Christian dan teman-teman cetak itu sekarang sulit sekali untuk terealisasi?
SDM, dalam hal ini kepelatihan itu harus dibenahi. Kita tidak bisa hanya bertumpu atau menumpuk di Pulau Jawa saja. Tapi, daerah di luar Pulau Jawa itu sepertinya kualitas SDM dari kepelatihan di luar Pulau Jawa itu harus ditingkatkan. Kalau hal ini berlangsung seperti sekarang, begini terus, lalu atlet-atlet yang di luar Jawa itu harus ke Pulau Jawa dulu untuk bisa maju, itu akan sangat mengurangi atlet-atlet yang berbakat yang bisa dibina menjadi pemain yang baik. Karena saya yakin sekali, bahwa di luar Pulau Jawa itu sangat banyak atlet-atlet yang punya bakat. Tapi masalahnya, 'kan, tidak dibina dengan baik. Nah, si anak ini mungkin 'kan kalau mau maju, berpikiran : "Saya harus ke Pulau Jawa". Nah, itu tentu banyak kendalanya.
Beberapa orang yang saya wawancarai, termasuk para pemain muda itu menganggap Pak Christian sebagai contoh baik. Seorang atlet yang disiplin, punya kemauan keras, datang pagi-pagi untuk mengikuti atau mengawasi latihan. Apakah seperti itu Pak Christian sebenarnya?
Hahaha. Bahwa dari dulu zaman saya main, memang hal-hal seperti itu rutin, sih, yang saya lakukan. Jadi datang pagi, kadang-kadang berlatih lebih dulu sendiri, sebelum dari pelatih. Ataupun setelah saya retired dari pemain menjadi pelatih, ya, saya mesti datang dulu di lapangan menyiapkan semuanya apa yang akan dilakukan hari itu, termasuk meneliti program latihan, ya.
Ya, soal dedikasi yang disebut banyak orang luar biasa
ini, Pak Christian terhadap perbulutangkisan Indonesia, bagaimana ini penjelasannya? Apa yang sebetulnya dicari Pak Christian ini?
Hahaha. Sebetulnya, sih, simple saja, ya. Sampai detik ini, saya bisa seperti sekarang ini, dari mulai menjadi atlet, selesai menjadi atlet lalu menjadi pelatih, sekarang diberi anugerah untuk menjadi pengurus, itu 'kan semua dari bulutangkis. Dan semua itu, 'kan, dari organisasi, dalam hal ini PB PBSI. Jadi, saya selalu merasa punya hutang terhadap PB PBSI, terhadap bulutangkis Indonesia. Jadi, sejauh atau semaksimal saya masih bisa dipakai di bulutangkis nasional, ya dalam batas kemampuan, dalam batas kebisaan yang saya punya, saya harus mengembalikan itu. Dari segi waktu, dari segi pikiran, inilah waktu saya membayar hutang. Saya banyak mendapat tawaran-tawaran yang menggiurkan, jauh, lah, dibanding apa yang bisa saya dapat di sini, tapi saya sama sekali tidak punya pikiran untuk ke tempat lain.

Dikutip dari wawancara radio BBC siaran Indonesia pada hari Minggu, 1 Maret 2009, kurang lebih pukul 06.45 WITA.